Beranda Hukum & Kriminalitas Marak Lapak Jual Beli Video Kekerasan Seksual

Marak Lapak Jual Beli Video Kekerasan Seksual

Marak Lapak Jual Beli Video Kekerasan Seksual

Alwi Husen Maolana, pelaku yang kini berstatus terdakwa di Pengadilan Negeri Pandeglang, tidak hanya memperkosa dan menganiaya korban. Dia juga diduga kuat menyebarkan video dan foto korbannya ke media sosial. Tindakan itu mulanya berupa ancaman yang bertujuan mengeksploitasi korban secara ekonomi dan seksual.

Alwi kerap mengancam memviralkan rekaman video itu ke TikTok dan Instagram. Ia mengirimkan video tersebut melalui pesan pribadi ke sejumlah akun yang memiliki banyak pengikut dan memiliki kaitan dengan korban. Setelah itu, Alwi membagikan tangkapan layar dari pesan-pesan itu kepada korban sebagai bukti bahwa video telah disebarkan. Tindakan itu Alwi lakukan untuk memaksa korban agar menuruti semua kemauannya.

Gue stitch video lo sampe viral,” ancam Alwi kepada korban melalui sebuah pesan singkat kepada korban.

Alwi juga diduga membuat lebih dari sepuluh akun Instagram untuk melancarkan aksinya. Akun-akun itu bahkan diberi nama berdasarkan identitas korban. Selain pesan pribadi, Alwi juga menyebarkan video tersebut melalui sebuah unggahan di Instagram disertai tagging ke akun-akun yang cukup terkenal di daerahnya.

Iman Zanatul Haeri, kakak korban, menuturkan pihaknya sudah mengumpulkan berbagai barang alat bukti terkait berbagai tindakan Alwi tersebut, di antaranya berupa chat, voice note, dan video call.

“Ancaman itu dimulai sejak pertama kali (korban) diperkosa (disertai dengan ancaman dan kekerasan fisik). Jadi pertama kali diperkosa itu di rumah pelaku juga, pelaku langsung memvideokannya (dalam kondisi korban tidak menyadarinya),” ujar Iman

Hingga naskah liputan mendalam ini ditayangkan, belum bisa mengakses keterangan Alwi maupun pengacaranya. Kami sudah berupaya mencarinya melalui kejaksaan. Namun Kepala Kejaksaan Negeri Pandeglang Helena Octavianne dan Kepala Kejaksaan Tinggi Banten Didik Farkhan Alisyahdi mengatakan, hingga kini, Alwi tak memiliki kuasa hukum dan tengah mendekam di sel tahanan.

Kejadian serupa dialami oleh Harun, bukan nama sebenarnya, seorang mahasiswa yang tinggal di Jabodetabek. Pria 21 tahun itu diancam dan diperas oleh seseorang yang ia kenal di media sosial. Pelaku mengancam akan membagikan foto dan konten seksual Harun ke berbagai media sosial.

Bukan isapan jempol belaka, pelaku kemudian langsung membagikan konten seksual itu ke beberapa akun media sosial rekan-rekan korban. Mengetahui itu, Harun langsung panik. Setelahnya, pelaku menghubunginya dan meminta uang Rp 600 ribu sebagai syarat agar konten seksual tersebut tidak terus disebarkan.

Permintaan itu sempat akan dipenuhi oleh Harun. Namun niat itu ia urungkan karena mengetahui rekening bank digital yang diserahkan pelaku atas nama orang lain. Di sisi lain, pelaku masih terus mengirim ancaman dan teror, baik melalui aplikasi pesan singkat maupun telepon.

“Dia tetap nelepon-neleponin saya. Pokoknya neror saya. Dia nge-chat segala macem gitu dengan kata-kata kasar juga,” ucap Harun kepada reporter

Di beberapa kasus, selain balas dendam, penyebaran konten intim nonkonsensual terkadang juga didasarkan pada motif ekonomi. Konten-konten itu tidak hanya disebarluaskan, tetapi juga pada akhirnya diperjualbelikan oleh pelaku atau orang lain yang memiliki akses terhadap video atau foto yang sudah telanjur tersebar.

Indikasi.id, melakukan penelusuran ke sejumlah akun di platform media sosial Twitter yang mengaku menyediakan konten-konten porno berbasis koleksi pribadi. Platform Twitter hanya digunakan sebagai medium awal untuk menarik pelanggan. Saat pelanggan tertarik, ia akan diarahkan ke platform Telegram.

Salah satu penyedia yang Indikasi.id, temukan memiliki lima channel di Telegram. Channel pertama berfungsi sebagai tempat untuk berbagi informasi dan forum obrolan antara penyedia serta para pelanggan. Di situ, penyedia juga memasarkan konten-kontennya. Biasanya para penyedia akan mengirim sejumlah bukti transfer dan tangkapan layar percakapan sebagai testimoni dari para pelanggan yang sudah membeli akses ke konten-konten tersebut.

Selain itu, secara berkala penyedia akan menginformasikan ada ‘barang baru’ yang ia dapatkan. Biasanya konten baru akan dipromosikan dengan menyertakan foto atau cuplikan video disertai tangkapan layar akun media sosial korban yang berada di dalam konten tersebut.

Bahkan para penyedia juga mengirimkan sejumlah tangkapan layar obrolan dengan orang-orang yang ingin menjual konten yang ia miliki. Hal itu dilakukan sebagai bukti bahwa konten itu asli dan merupakan kolpri—istilah dalam forum untuk menyingkat koleksi pribadi. Konten ilegal itu mereka dapat dari mantan pacar, mantan istri, atau bahkan didapat dengan merekam secara sembunyi-sembunyi.

Di channel kedua, disebut sebagai forum dewasa VVIP, berisi ribuan konten seksual. Beberapa konten bahkan diberi label nama, merujuk pada nama korban. Hampir setiap hari penyedia mengunggah konten-konten baru. Terdapat lebih dari 800 pelanggan di kanal tersebut.

Untuk dapat masuk dan mengakses kanal tersebut, pelanggan dikenai biaya Rp 50 -100 ribu. Namun hanya bisa menonton secara streaming, tidak dapat melakukan tangkapan layar maupun mengunduhnya. Jika ingin bisa mengunduh konten, pelanggan dikenai biaya tambahan Rp 50-100 ribu dan harus masuk ke dua saluran lainnya.

Selain itu, pelanggan yang enggan membayar dengan uang dapat melakukan barter koleksi konten ilegal yang ia miliki. Konten itu dapat ditukarkan dengan akses tak terbatas terhadap ribuan konten yang sudah ada di dalam saluran VVIP.

Di sisi lain, pengelola kanal bersedia membeli konten dari berbagai pihak. Harga yang dipatok beragam. Mulai puluhan ribu hingga jutaan rupiah. Harga ditentukan oleh kualitas video, kejelasan muka atau wajah korban dalam konten itu, durasi, dan kepemilikan akun media sosial. Jika korban, yang sebagian besar perempuan, dalam konten itu memiliki media sosial yang aktif, nilai jualnya akan lebih mahal.

Motif ekonomi bukan menjadi alasan utama. Mayoritas para penjual konten kolpri, dalam percakapan dengan pengelola kanal, mengaku ingin menjual konten milik mantan kekasihnya karena sakit hati dan ingin membalas dendam. Sementara itu, para perempuan dalam konten tersebut yang menjadi korban memiliki rentang usia beragam. Mulai kisaran belasan tahun hingga perempuan berumur 40-an tahun. Bahkan pengelola berjanji akan segera membuat saluran khusus yang berisi konten intim anak-anak di bawah umur.

Penelusuran Indikasi.id, tersebut selaras dengan temuan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK). Laporan tahunan mereka pada 2022 menunjukkan ada 49 aduan kasus penyebaran konten intim tanpa konsensual. Adapun dari keseluruhan aduan kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO), mayoritas pelaku adalah mantan pacar atau pasangan korban. Ada 182 kasus yang pelakunya merupakan mantan pacar korban.

Di sisi lain, Indikasi.id juga melakukan identifikasi dan penelusuran terhadap para korban yang kontennya diperjualbelikan di channel Telegram tersebut. Salah satu korban yang terkonfirmasi dan dijangkau oleh Indikasi.id, mulanya bersedia berbagi cerita dan diwawancarai. Video ilegal intim berisi korban sengaja disebar oleh mantan pacarnya dan kemudian dijual di berbagai platform, termasuk Telegram. Namun, karena mempertimbangkan keamanan dan kondisi korban, akhirnya proses wawancara dibatalkan.

Konselor Hukum dari Rifka Annisa Women’s Crisis Center, Nurul Kurniati, mengatakan pihaknya beberapa kali menerima aduan terkait KBGO. Setidaknya lima kasus bisa dibawa hingga proses persidangan.

Dari sekian kasus KGBO, juga terdapat kasus penyebaran dan penjualan konten intim nonkonsensual. Di kasus itu pelaku merupakan mantan suami korban. Pelaku secara diam-diam merekam hubungan seksual mereka saat masih dalam status pernikahan. Setelah bercerai, pelaku menjual video-video tersebut ke sejumlah platform dengan harga sekitar Rp 1 juta.

“Iya, Rp 1 juta lebih, ya. Itu pembayaran melalui online juga,” kata Nurul kepada reporter Indikasi.id

Menurut Nurul, penanganan kasus serupa kadang terkendala oleh aparat penegak hukum yang tidak paham dan tidak punya perspektif baik terhadap korban. Kepolisian sering kali justru tidak menindaklanjuti dengan alasan belum ada aturan turunan. Selain itu, unit siber hanya terbatas di polda dan tidak semua polres memiliki unit siber sendiri. Hal ini juga menjadikan kendala sehingga penanganan menumpuk di polda.

“Sering kali di polda itu penyidiknya banyak laki-laki. Itu menjadi kendala sendiri untuk korban yang tidak didampingi oleh lembaga pelayanan pengadaan lainnya. Itu kami selalu menyampaikan untuk menjaga kerahasiaan. Artinya, jangan sampai kemudian ini di institusi polda ini, di mana cyber crime itu, ketika penyimpanan bukti itu tidak dikelola dengan baik, itu bisa juga menyebar,” ujarnya.

Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, mengaku pihaknya juga pernah menangani sejumlah aduan kasus penyebaran dan penjualan konten intim nonkonsensual. Namun, dalam kasus seperti itu, korban sering kali juga disalahkan. Salah satu kasus yang ditangani Komnas adalah penjualan konten intim seorang perempuan asal Jawa Barat oleh suaminya sendiri.

.