Beranda Politik MK Menolak Pengujian Formil Tentang UU MK

MK Menolak Pengujian Formil Tentang UU MK

Jakarta, Indikasi.id – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak pengujian formil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) yang diajukan oleh Allan Fatchan Gani Wardhana. Sedangkan dalam pengujian materiil, Mahkamah memutuskan tidak dapat menerima permohonan Allan Fatchan Gani Wardhana yang berprofesi sebagai dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) dan Kepala Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum UII.

Amar putusan, mengadili, dalam pengujian formil, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Dalam pengujian materiil, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pengucapan Putusan Nomor 90/PUU-XVIII/2020 yang digelar secara daring di MK pada Senin (20/6/2022).

Mahkamah dalam pertimbangan hukum putusan menyatakan Pemohon tidak dapat menguraikan adanya hubungan sebab akibat (causal verband) secara jelas, baik anggapan kerugian potensial maupun faktual dengan pasal-pasal dalam UU MK yang dimohonkan oleh Pemohon. Terlebih lagi, apa yang diuraikan Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukumnya bukan merupakan hal-hal yang berkenaan kerugian hak konstitusionalnya sehingga hal tersebut semakin membuktikan tidak ada relevansi antara anggapan kerugian hak konstitusional yang diuraikan Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukumnya dengan pasal-pasal dalam UU MK yang diuraikan Pemohon.

“Selain pertimbangan tersebut, Mahkamah berpendapat Pemohon sebagai perseorangannya warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai pengajar yang berpendidikan terakhir Magister Hukum belum memenuhi syarat menjadi hakim konstitusi karena salah satu syarat untuk menjadi hakim konstitusi adalah berpendidikan terakhir Doktor. “Mahkamah berpendapat Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum dalam mengajukan permohonan pengujian materiil UU 7/2020 a quo,” kata Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih membacakan pertimbangan hukum putusan.

Lebih lanjut Enny menjelaskan, Pemohon mendalilkan proses pembentukan UU MK secara formil telah melanggar asas keterbukaan dan bertentangan dengan ketentuan mengenai tatacara pembentukan undang-undang, khususnya berkenaan dengan tidak adanya partisipasi publik dan proses pembahasannya dilakukan secara tertutup dengan waktu yang sangat terbatas. Terhadap dalil tersebut menurut Mahkamah, berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap dalam persidangan, khususnya keterangan DPR dan Presiden, telah ternyata Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 telah masuk dalam daftar Prolegnas 2015-2019, prioritas tahun 2019.

Selain itu, sambung Enny, terlepas dari norma pasal-pasal yang dimohonkan pengujian secara materiil dianggap terdapat persoalan inkonstitusionalitas, namun menurut Mahkamah tatacara perubahan Undang-Undang a quo yang mendasarkan pada daftar kumulatif terbuka tersebut sebagai tindak lanjut beberapa putusan MK maka tatacara perubahan UU 7/2020 tidak relevan lagi dipersoalkan. Namun demikian, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa usulan RUU jika masuk dalam daftar kumulatif terbuka sesungguhnya dapat dibentuk kapan saja dan tidak terbatas jumlahnya sepanjang memenuhi kriteria yang terdapat dalam Pasal 23 ayat (1) UU 12/2011.

Dikarenakan perubahan UU MK dalam rangka menindaklanjuti putusan-putusan MK, Enny menyebut hal tersebut tidak relevan lagi apabila proses pembahasan RUU tersebut masih dipersyaratkan pembahasan, termasuk dalam hal ini adalah syarat partisipasi publik yang

ketat sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU- XVIII/2020, bertanggal 25 November 2021.

“Hal ini dimaksudkan agar esensi perubahan tersebut sepenuhnya mengadopsi substansi putusan Mahkamah Konstitusi. Dalam hal ini, jika perubahan tersebut dilakukan sebagaimana layaknya Rancangan Undang-Undang di luar daftar kumulatif terbuka, justru berpotensi menilai dan bahkan menegasikan Putusan Mahkamah Konstitusi,” lanjut Enny.

Mahkamah berpendapat Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian formil, namun tidak memiliki kedudukan hukum dalam mengajukan permohonan pengujian materiil. Sedangkan, pokok permohonan dalam pengujian formil tidak beralasan menurut hukum. Oleh karena itu, pokok permohonan Pemohon dan hal-hal lain dalam pengujian materiil tidak dipertimbangkan lebih lanjut.

Alasan dan Pendapat Berbeda

Terhadap putusan MK ini, terdapat pendapat berbeda (dissenting opinion) dan alasan berbeda (concurring opinion) dari Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Hakim Konstitusi Suhartoyo, serta pendapat berbeda (dissenting opinion) Hakim Konstitusi Saldi Isra.

Dalam pokok pengujian formil, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyampaikan alasan dan pendapat yang berbeda. Wahiduddin menyimpulkan pembentukan UU MK memang terindikasi kuat dilakukan secara tergesa-gesa. Terlebih lagi, setelah dilakukan pemeriksaan yang jernih dan mendalam terhadap setiap tahapan pembentukan UU MK, berbagai alat bukti yang diajukan, serta petunjuk yang terungkap dalam persidangan, Wahiduddin meyakini pembentukan UU MK memang memiliki kekurangan serta sulit terhindar dari tendensi yang cukup beralasan mengenai ada/tidaknya urgensi yang nyata dan mendesak untuk membentuk UU MK, pilihan momentum pembentukan UU MK, serta sikap batin (niat ingsun) pembentuk UU dalam membentuk UU MK. Namun demikian, Wahiduddin melanjutkan, dalam UU MK terdapat pula beberapa perubahan substantif dan fundamental yang lebih bermanfaat (maslahah) untuk dipertahankan demi menjamin keberlangsungan supremasi konstitusi serta peningkatan independensi dan imparsialitas Mahkamah secara ajeg.

Sementara dalam pokok permohonan pengujian materiil Pasal 15 ayat (2) huruf d UU MK, Wahiduddin berpendapat bahwa “usia paling rendah 55 (lima puluh lima) tahun” sebagai salah satu syarat minimal bagi calon Hakim Konstitusi yang diatur dalam Pasal 15 ayat (2) huruf d UU MK pada hakikatnya bukan merupakan persoalan konstitusionalitas norma, melainkan suatu kebijakan hukum yang bersifat terbuka dari pembentuk UU (open legal policy) sepanjang pengaturannya dilakukan dengan landasan justifiikasi dan bangunan argumentasi yang memadai, sesuai kebutuhan zaman, dan secara sungguh-sungguh mempertimbangkan aspek kematangan hidup dan intelektual serta keragaman pengalaman profesional dari calon Hakim Konstitusi.

“Sehingga jika Pemohon mendalilkan bahwa usia paling rendah 55  tahun sebagai salah satu syarat minimal bagi calon Hakim Konstitusi dianggap tidak ideal maka yang seharusnya dilakukan Pemohon adalah menyalurkan aspirasi dan dalil tersebut kepada Pembentuk Undang-Undang dan bukan justru mengajukannya kepada Mahkamah dengan pokok alasan bahwa terdapat persoalan konstitusionalitas norma mengenai hal ini,” tegas Wahiduddin.

Sedangkan Hakim Konstitusi Suhartoyo mengatakan substansi perubahan yang dilakukan ke dalam UU MK adalah justru hal-hal pokok yang ditindaklanjuti oleh pembentuk undang-undang dengan menggunakan sistem kumulatif terbuka akibat adanya putusan Mahkamah Konstitusi.

Oleh karena itu, Suhartoyo melanjutkan, tidak dapat dipisahkannya antara proses pembentukan/perubahan dengan substansi atau materi undang-undangnya, sepanjang berkenaan dengan hal-hal yang masih berkaitan dengan jabatan hakim. Menurutnya, materi permohonan atas perkara-perkara tersebut yang diajukan oleh Pemohon masih berkaitan erat dengan desain jabatan hakim, maka perubahan pada bagian materi UU MK menjadi satu kesatuan yang keutuhannya tetap harus diberikan perlindungan dari persoalan-persoalan yang bertujuan untuk menilai konstitusionalitasnya atas norma-norma perubahan dimaksud.

“Dengan demikian, sekiranya ada pihak yang beranggapan perubahan undang-undang a quo terdapat cacat kehendak sebagaimana tidak sesuai dengan yang diputuskan oleh Mahkamah dalam menindaklanjuti perubahannya, maka anggapan/pandangannya tersebut seharusnya disampaikan kepada pembentuk undang-undang untuk dilakukan koreksi (legislative review),” urainya.

Sedangkan Hakim Konstitusi Saldi Isra berpendapat berkenaan dengan amar atau pendirian Mahkamah tersebut, meski secara faktual, misalnya soal persyaratan umur yang belum dipenuhi untuk dapat menjadi hakim konstitusi dan jenjang pendidikan yang belum bergelar doktor (S3), setidak-tidaknya Pemohon potensial dirugikan dengan berlakunya norma-norma yang diajukan dalam permohonan tersebbut.

“Oleh karena itu, tanpa harus panjang-lebar menguraikan ihwal keterpenuhan persyaratan kerugian hak konstitusional untuk dapat mengajukan permohonan di Mahkamah Konstitusi, bagi saya tidak ada keraguan sama sekali untuk sampai pada sikap dan pendirian: Pemohon mengalami, atau setidak-tidaknya potensial mengalami, kerugian konstitusional sehingga memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo,” kata Saldi.

Saldi menjelaskan, pembentuk UU menerangkan bahwa usia minimal 55 tahun merupakan syarat usia yang dipandang dapat memiliki integritas dan kepribadian yang lebih baik, memiliki pengalaman yang lebih luas, serta diharapkan memiliki sifat negarawan dan dapat menguasai konstitusi dan ketatanegaraan. Secara akademik syarat usia minimal 55 tahun dilandaskan atas putusan MK yang bersifat final karena hakim konstitusi memiliki tanggung jawab yang sangat besar, baik kepada Tuhan, masyarakat maupun negara.

“Dalam batas penalaran yang wajar, penjelasan tersebut seperti hendak menegasikan fakta empirik terhadap pengisian hakim konstitusi yang pernah terjadi selama ini. Jamak diketahui, sejak awal pembentukan Mahkamah Konstitusi, sejumlah hakim konstitusi diangkat saat berusia masih di bawah 55 tahun. Bahkan sebagian di antaranya berusia di bawah 50 tahun. Untuk memberikan contoh beberapa di antaranya, Jimly Asshiddiqie diangkat menjadi hakim konstitusi pada usia 47 tahun dan Hamdan Zoelva belum mencapai usia 48 tahun. Bahkan, I Dewa Gede Palguna masih berusia 42 tahun saat pertama kali diangkat menjadi Hakim Konstitusi. Lalu, adakah yang meragukan integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan dari mereka semua meski diangkat sebagai hakim konstitusi sebelum mencapai usia 55 tahun,” beber Saldi. (Ind)

.