JAKARTA, Indikasi.id – Keputusan Arab Saudi untuk memperpanjang pemangkasan produksi minyak 1 juta barel per hari hingga Agustus 2023 dapat memicu kontraksi ekonomi. Perekonomian diperkirakan akan turun sebesar 0,1% hingga 1% jika kebijakan tersebut bertahan selama sisa 2023.
“Pemotongan Saudi bisa mahal,” kata Ekonom Timur Tengah dan Afrika Utara di Bank of America Corp, Jean-Michel Saliba dikutip dari Bloomberg, Minggu (9/7/2023).
Penurunan level itu akan membuat Arab Saudi menjadi ekonomi dengan kinerja terburuk di G20 setelah Argentina.
Pasalnya ekonomi Arab Saudi didukung oleh keberadaan ladang minyak yang menjadi perputaran nyata untuk ekonomi US$ 1 triliun, yang harganya melonjak hampir 9% pada 2022. Hal itu membantu Putra Mahkota Mohammed bin Salman menginvestasikan puluhan miliar dolar dalam segala hal mulai dari olahraga hingga pariwisata dan kota-kota baru.
Beberapa analis optimis ekonomi Arab Saudi dapat tumbuh bahkan jika pemotongan tetap dilakukan hingga 2024. Amy McAlister dari Oxford Economics melihat PDB naik 0,3% dalam skenario itu.
Pemerintah mengatakan ekonomi non-minyak Arab Saudi kemungkinan akan tumbuh 5,8% tahun ini. Perusahaan swasta di luar industri minyak disebut meningkat pada tingkat tercepat yang tercatat pada Juni 2023.
“Transformasi dan diversifikasi ekonomi Saudi di bawah Visi 2030 difokuskan pada PDB non-minyak,” kata juru bicara Kementerian Keuangan Saudi.
Meski begitu, penurunan petrodolar telah membuat anggaran Arab Saudi menjadi defisit dan memaksanya untuk berutang lebih banyak. Beberapa sinyal itu ditandai dengan pemerintah yang telah menjual Eurobonds senilai US$ 16 miliar sepanjang tahun ini.
Eksplorasi konten lain dari indikasi.id
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.