Jakarta, Indikasi.id – Lima pekerja rumahan melakukan uji materiil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU ketenagakerjaan) pada Senin (1/8/2022). Mereka adalah Muhayati (Pemohon I), Een Sunarsih (Pemohon II), Dewiyah (Pemohon III) yang tinggal di Jakarta dan Kurniyah (Pemohon IV), Sumini (Pemohon V) yang tinggal di Cirebon. Para Pemohon menguji Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 UU Ketenagakerjaan yang mengatur mengenai definisi hubungan kerja.
Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan: “Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.”
Pasal 50 UU Ketenagakerjaan: “Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh”
Para Pemohon Perkara Nomor 75/PUU-XX/2022 ini adalah pekerja rumahan yang secara individu bekerja di rumah atau tidak berada di lingkungan perusahaan. Namun mereka mendapat perintah pekerjaan dari seorang perantara selaku pemberi kerja untuk melakukan suatu pekerjaan berupa produk barang/jasa.
“Adapun perantara pekerjaan tersebut adalah orang perseorangan yang memperoleh pesanan dari perusahaan atau individu yang mendapatkan order dari karyawan perusahaan pemborongan pekerjaan,” kata kuasa hukum para Pemohon, Wilopo Husodo kepada Panel Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul.
Mengenai jenis pekerjaan dari kelima Pemohon, misalnya Pemohon I merupakan pekerja rumahan sejak 2004 yang memperoleh perintah kerja secara lisan dari seorang individu yang bertindak sebagai perantara untuk menjahit sarung tangan dan kaus kaki bayi.
Sedangkan Pemohon II adalah pekerja rumahan sejak 2011 yang memperoleh perintah kerja secara lisan dari seorang individu yang bertindak sebagai perantara untuk membuat kemasan makanan siap saji ayam goreng. Pemohon III adalah pekerja rumahan sejak 2006 yang bertindak sebagai perantara yang mengaku sebagai karyawan pabrik. Produk yang dihasillkan Pemohon III berupa alas kaki yang bahan-bahannya disediakan perantara.
Kemudian Pemohon IV dan Pemohon V adalah pekerja rumahan sejak 2012 yang memperoleh perintah kerja secara lisan dari seorang individu yang bertindak sebagai perantara untuk membuat produk berbahan rotan seperti meja, kursi maupun anyaman rotan lainnya.
Pada 2017, tutur Wilopo, para Pemohon pernah melakukan audiensi ke Kementerian Ketenagakerjaan untuk mempertanyakan status perlindungan hukum pekerja rumahan sebagai pekerja dan status hubungan kerja berdasarkan UU Ketenagakerjaan. Namun pihak Kementerian Ketenagakerjaan memberikan tanggapan bahwa tidak ada istilah pekerja rumahan dalam UU ketenagakerjaan. Jika merujuk definisi pekerja pada UU Ketenagakerjaan, pekerja rumahan dapat dikategorikan sebagai pekerja. Namun pekerja rumahan dianggap sebagai pekerja yang berada di luar hubungan kerja.
“Kementerian Ketenagakerjaan berpandangan bahwa karakteristik pekerja rumahan tidak memenuhi unsur-unsur persyaratan untuk menjadi pekerja yang berada dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Ketenagakerjaan. Oleh karena itu menurut kami, Undang-Undang Ketenagakerjaan belum dapat memberikan perlindungan hukum kepada pekerja rumahan,” tegas Wilopo.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Majelis Hakim mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Selain itu, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Hubungan kerja adalah hubungan antara pemberi kerja dengan pekerja/buruh yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah”. “Menyatakan Pasal 50 Undang-Undang Ketenagakerjaan tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pemberi kerja dan pekerja/buruh,” tandas Wilopo.
Uraian Syarat Kerugian Konstitusional
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih (anggota panel) menasehati para Pemohon agar mempelajari lebih jauh mengenai cara pengajuan permohonan uji undang-undang ke MK termasuk sistematika permohonan melalui Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Acara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021).
“Sistematika permohonan terlihat cukup baik, mulai dari perihal, identitas, kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum, batu uji, posita hingga petitum. Pendahuluan permohonan tidak perlu ada, langsung posita. Selain itu belum ada uraian syarat-syarat kerugian konstitusionalnya. Termasuk juga uraian hak-hak konstitusional para Pemohon yang dirugikan dengan berlakunya norma yang diujikan. Kemudian uraian argumentasi pertentangan antara norma yang diuiji dengan Konstitusi,” ungkap Enny.
Sementara Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams (anggota panel) mencermati redaksional permohonan, misalnya penyebutan Pemohon diubah menjadi para Pemohon karena ada lima Pemohon. Selanjutnya Wahiduddin mengingatkan para Pemohon agar menyajikan tidak seperti menulis makalah, tapi sesuai pedoman dalam PMK No. 2 Tahun 2021. Hal lain, dari tujuh para pihak, ada satu orang yang belum tanda tangan dalam permohonan. “Tolong nanti dilengkapi,” pinta Wahiduddin.
Berikutnya, Ketua Panel Manahan MP Sitompul menyampaikan agar para Pemohon melengkapi undang-undang dalam kewenangan Mahkamah, semisal UU MK terbaru dan PMK 2/2021. Lainnya, Manahan juga meminta para Pemohon lebih memperjelas dan menguraikan identitas para Pemohon dalam permohonan.
Panel Hakim memberikan waktu selama 14 hari kerja kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya. Selambatnya Kepaniteraan MK menerima perbaikan permohonan pada Senin, 15 Agustus 2022. (Ind)