Beranda Politik Perkawinan Beda Agama

Perkawinan Beda Agama

Jakarta, Indikasi.id – Faktor yang menentukan sahnya perkawinan adalah syarat-syarat yang ditentukan oleh agama dari masing‑masing pasangan calon mempelai. Diwajibkannya pencatatan perkawinan oleh negara melalui perundang‑undangan, merupakan kewajiban administrasi. Demikian disampaikan Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (6/6/2022) secara daring. Arsul menyampaikan keterangan DPR RI menanggapi permohonan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sidang pleno untuk Perkara Nomor 24/PUU-XX/2022 yang diajukan oleh E. Ramos Petege ini dipimpin Ketua MK Anwar Usman.

Lebih lanjut Arsul menerangkan pencatatan secara administratif yang dilakukan oleh negara bertujuan agar perkawinan yang tergolong perbuatan hukum penting dalam kehidupan setiap warga negara dan berimplikasi pada adanya akibat hukum kemudian hari. Sehingga perlindungan dan pelayanan oleh negara terkait hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan tersebut menjadi penting untuk dilindungi oleh negara. Dengan demikian, telah jelas ketentuan ini menekankan penghormatan terhadap ajaran agama dan kepercayaan setiap warga negara yang dijadikan sebagai syarat sah dari perkawinan tanpa ada diskriminasi.

Berikutnya Arsul menjelaskan tentang dalil Pemohon yang pada intinya menilai Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan merupakan bentuk pemaksaan agama oleh negara kepada warga negara yang seharusnya dimaknai sebagai pilihan bagi calon pasangan yang akan melangsungkan perkawinan beda agama. Sesuai risalah rapat pembahasan undang‑undang, Arsul mengatakan pembuat undang-undang menormakan praktik perkawinan yang dilakukan setiap pemeluk agama yang memadukan unsur perkawinan menurut tata cara agama atau disebut dengan istilah religious marriage, dan unsur perkawinan menurut tata cara sipil, yakni perkawinan yang dilakukan, dicatat, dan diakui oleh pejabat pemerintah atau disebut dengan istilah civil marriage. Dengan demikian, DPR berpandangan, dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan merupakan bentuk pemaksaan agama tertentu oleh negara kepada warga negaranya, adalah dalil yang tidak berdasar.

“Sebab, negara berperan memberikan perlindungan pada setiap warganya untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah dan ini merupakan perwujudan serta bentuk jaminan keberlangsungan hidup manusia. Dengan demikian perkawinan tidak dapat dilihat dari aspek formal semata, tetapi juga harus dilihat dari aspek spiritual dan sosial. Agama menetapkan keabsahan perkawinan, sedangkan undang‑undang menetapkan keabsahan administratif yang dilakukan oleh negara,” jelas Arsul.

Hukum Perkawinan Berbeda-beda

Pada kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama RI Kamarudin selaku perwakilan Pemerintah dalam persidangan ini menyatakan dibentuknya UU Perkawinan guna memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum bagi setiap pemeluk agama dan kepercayaan dalam melangsungkan perkawinan, sesuai hukum dari agama dan kepercayaan yang dianut  masing-masingnya. Sebab, pada hakikatnya hukum perkawinan setiap agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia berbeda‑beda, sehingga tidak mungkin untuk disamakan atau dipersamakan antara satu perkawinan menurut satu hukum agama dan kepercayaan dengan yang lainnya.

“Apabila terjadi, tentunya akan menimbulkan diskriminasi bagi setiap pemeluk agama dan kepercayaan dalam melangsungkan perkawinan,” jelas Kamaruddin.

Wajib Tunduk Terhadap Pembatasan

Selanjutnya Kamaruddin juga menjelaskan konsep perkawinan beda agama dan kepercayaan yang tidak diperbolehkan tersebut adalah atas dasar hak asasi manusia dan kebebasan. Pemerintah berpandangan dalam menjalankan hak dan kebebasan, setiap warga negara wajib tunduk terhadap pembatasan yang ditetapkan dengan undang‑undang demi menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai‑nilai agama, keamanan, ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Sehingga, sambung Kamaruddin, tidak mungkin di negara yang berdasarkan Pancasila dan Undang‑Undang Dasar Tahun 1945 atas dasar hak asasi manusia dan kebebasan, setiap orang dapat sebebas‑bebasnya melakukan perkawinan beda agama dan kepercayaan.

“Bisa jadi pelaksanaan perkawinan berbeda agama dan kepercayaan  itu justru akan melanggar hak konstitusional orang lain yang seharusnya dihormati dan dilindungi oleh setiap orang dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,” terang Kamaruddin dalam sidang yang digelar di Ruang Sidang Pleno MK dengan dihadiri para pihak secara daring. (Ind)

.