Beranda Politik Hak-Hak Tersangka Dan Terdakwa Di Dalam KUHAP

Hak-Hak Tersangka Dan Terdakwa Di Dalam KUHAP

Jakarta, Indikasi.id – Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberikan pengaturan jelas dan tegas terkait hak‑hak tersangka dan terdakwa. Hal tersebut sesuai dengan semangat lahirnya KUHAP, yakni untuk memberikan kepastian hukum, jaminan, dan perlindungan hak asasi manusia. Demikian disampaikan oleh Staf Ahli Bidang Hubungan Antar Lembaga Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Dhahana Putra dalam sidang yang digelar pada Rabu (29/6/2022) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan yang teregistrasi sebagai Perkara Nomor 61/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Octolin H Hutagalung dan sebelas Pemohon lainnya.

“Sekaligus mendorong aparat penegak hukum agar menjalankan tugasnya dengan sebaik‑baiknya dan menghindarkan diri dari praktik perlakuan yang sewenang-wenang dan tidak wajar,” ujar Dhahana di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Aswanto.

 Dalam sidang tersebut, Dhahana juga membantah dalil Pemohon terkait pihak penyelidik atau penyidik seringkali melarang penasihat hukum untuk ikut serta mendampingi kliennya ketika diperiksa sebagai terperiksa atau saksi, walaupun terkadang penasihat hukum diperbolehkan mendampingi dengan keterbatasan hanya mendengarkan jalannya pemeriksaan dalam artian pasif. Pemerintah berpendapat bahwa dalil Pemohon tersebut tidak berdasar hukum karena norma yang terkandung dalam Pasal 54 KUHAP sudah sangat jelas, yaitu mengatur hak tersangka dan terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum guna kepentingan pembelaan.

“Pemberian hal tersebut merupakan salah satu bentuk perlindungan yang diberikan oleh KUHAP kepada tersangka dan terdakwa berupa seperangkat hak‑hak kemanusiaan yang wajib dihormati dan dilindungi oleh aparat penegak hukum yang sebelum berlakunya KUHAP tidak diatur mengenai hak‑hak tersangka dan terdakwa tersebut,” ujar Dhahana.

Tendensius

Pemerintah juga menanggapi dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa kerapkali seorang diperiksa sebagai saksi tak berselang lama di kemudian hari tanpa pemberitahuan apapun diubah statusnya menjadi tersangka oleh penyidik. Pemerintah berpendapat bahwa dalil tersebut merupakan dalil yang tendensius dan tidak memiliki relevansi dengan permohonan. Dhahana menyebut apabila benar telah terjadi proses yang sewenang‑wenang (arbitrary procces) dalam praktik oleh aparat penegak hukum—tentu hal itu harus dapat dibuktikan dalam suatu proses peradilan.

“Dan akan menjadi bumerang yang merupakan aparat penegak hukum itu sendiri, sehingga apa yang didalilkan oleh Pemohon hanyalah untuk ketidakpercayaan atas kredibilitas aparat penegak hukum yang dalam menjalankan tugasnya telah disumpah. Mencermati sisi kebutuhan dan urgensinya, pemeriksaan seorang saksi tidak perlu harus didampingi oleh penasihat hukum dalam rangka mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan sebagaimana yang dianut KUHAP,” ujar Dhahana.

Dalam kesempatan yang sama, Hakim Konstitusi Suhartoyo memperjelas persoalan yang dimaksud oleh Pemohon dalam permohonannya. Ia menjelaskan bahwa terdapat bagian‑bagian fundamental hak yang dimiliki oleh seorang advokat dalam memberikan jasa hukum serta memberikan perlindungan terhadap siapa pun yang memerlukan jasanya untuk dilakukan pendampingan dalam konteks perkara pidana. Dalam UU Advokat, seorang advokat diberikan keleluasaan dalam memberikan pelayanan jasa hukum  kepada siapa pun

yang memerlukan. Akan tetapi, berbeda dalam KUHAP yang tidak mengakomodir hal tersebut.

“Khususnya dalam pemeriksaan saksi kemudian tidak bisa selaras, tidak mengakomodir semangat yang ada di Undang‑Undang Advokat itu. Padahal kalau menurut keterangan tadi, pemeriksaan saksi oleh aparat penegak hukum, apakah di tingkat penyelidikan, penyidikan itu merupakan bagian, satu kesatuan juga di dalam mengungkap tindak pidana itu sendiri. Dan bahkan tidak tertutup kemungkinan seorang saksi itu kemudian menjadi embrio untuk menjadi tersangka. Dan hal itu banyak terjadi dan berpotensi untuk seorang saksi itu ternyata di panggilan pertama untuk dilakukan pemeriksaan itu adalah sebagai saksi, tapi ternyata kemudian dengan alasan-alasan tertentu ditingkatkan menjadi seorang tersangka. Itu yang mestinya dijelaskan tadi,” papar Suhartoyo.

Menanggapi pernyataan tersebut, Dhahana meminta waktu agar Pemerintah dapat memberikan keterangan tambahan. Untuk itu, Majelis Hakim menunda sidang hingga Kamis, 14 Juli 2022 dengan agenda mendengarkan keterangan DPR, Kepolisian Republik Indonesia serta KPK.

Sebelumnya, para Pemohon yang berprofesi sebagai advokat menguji Pasal 54 KUHAP yang berbunyi, “Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini”. Para Pemohon beranggapan bahwa dalam proses perkara pidana, advokat sering dimintai jasa hukumnya untuk mendampingi seseorang, baik dalam kapasitasnya sebagai pelapor, terlapor, saksi, tersangka maupun terdakwa. Menurut para Pemohon, pemberlakuan Pasal 54 KUHAP telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi seorang advokat dalam menjalankan profesinya, mengingat tidak adanya ketentuan-ketentuan dalam KUHAP yang mengatur tentang hak seorang saksi dan terperiksa untuk mendapatkan bantuan hukum serta didampingi oleh penasihat hukum dalam memberikan keterangan di muka penyidik, baik di Kepolisian, Kejaksaan maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Untuk itu, dalam Petitumnya, Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 54 KUHAP Konstitusional bersyarat berdasarkan sepanjang dimaknai termasuk Saksi dan Terperiksa. (Ind)

.